Kalah 2-3 dari PSMS Medan dalam drama adu penalti memang mengenaskan. Tapi para pemain muda Persib tak patah arang. Mereka langsung bersiap menghadapi Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1985. Sejumlah turnamen persahabatan diikuti sepanjang 1984. **
Turnamen persahabatan segitiga di Stadion Teladan Medan yang menghadirkan kesebelasan Freiburg (Jerman), Piala Wali Kota Padang II, Piala Siliwangi IV, dan Piala Yusuf X adalah sejumlah turnamen yang diikuti Persib, usai kegagalan merengkuh gelar juara Divisi Utama Kompetisi Perserikatan 1983. Kecuali Wawan Karnawan yang dinobatkan sebagai pemain terbaik di Piala Yusuf, tak ada mahkota yang direngkuh Persib dalam turnamen-turnamen tersebut.
Kendati sempat dikembalikan kepada Risnandar Soendoro di beberapa turnamen, namun menghadapi Divisi Utama Kompetisi Perserikatan 1985, pengurus Persib menunjuk Nandar Iskandar sebagai pelatih. Ia didampingi tiga asistennya, Suhendar dan Wowo Sunaryo serta Indra M. Thohir sebagai pelatih fisik. Posisi manajer dipercayakan kepada M. Yayat Ruchiyat.
Menghadapi putaran pertama di Stadion Lampineung Banda Aceh, Persib memboyong 20 pemainnya. Mereka adalah Boyke Adam, Sobur, Wawan “Kutil” Hermawan, Dede Iskandar, Suryamin, Cornelis Rudolf, Yoce Roni Sumendap, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Ganjar Nugraha, Sardjono, Yana Rodiana, Iwan Sunarya, Bambang Sukowiyono, Jafar Sidik, Kosasih A, Suhendar, Wawan “Balok” Karnawan, Dede Rosadi, dan Adjat Sudradjat.
Sebagian besar pemain Persib 1983 masih dipertahankan, kecuali Wolter Sulu yang hijrah ke PS Bengkulu, Giantoro dan Encas Tonif yang menyatakan pensiun, Adjid Hermawan, Ade Mulyono yang sejak awal putaran kedua Kompetisi Perserikatan 1983 sudah tidak masuk tim, serta Kosasih B. dan Memed Ismar. Tapi khusus untuk Encas Tonif, Ade Mulyono, dan Adjid Hermawan, menjelang akhir putaran kedua, mereka dipanggil lagi bersama Vence Sumendap.
Seiring dengan semakin matangnya permainan para pemain mudanya, Persib kembali difavoritkan untuk menjadi kampiun. Majalah Tempo edisi 2 Maret 1985 menilai, Persib memiliki materi pemain terbaik dibandingkan 11 peserta lainnya.
Publik sepak bola nasional semakin mantap menjagokan Persib, ketika lolos ke babak “6 Besar” dengan rekor tak terkalahkan. Di putaran pertama yang berlangsung di Stadion Lampineung Banda Aceh, Persib menghajar Persija 3-0 dan tuan rumah Persiraja 2-0. Dalam tiga laga lainnya, Persib bermain imbang –skornya sama persis 2-2– dengan Perseman Manokwari, PSP Padang, dan PSMS Medan.
Di putaran kedua yang berlangsung di Stadion Menteng dan Stadion Utama Senayan Jakarta, Persib memastikan diri lolos ke babak “6 Besar” sebagai juara Wilayah Barat, setelah menundukkan PSP dan Persija dengan skor 4-0, Persiraja 2-0 serta imbang tanpa gol dengan PSMS dan 1-1 dengan Perseman. Persib didampingi Perseman dan PSMS, peringkat kedua dan ketiga Wilayah Barat.
Ikrar Solihin G.P.
Di awal babak babak “6 Besar” yang berlangsung di Stadion Utama Senayan Jakarta, akhir Februari 1985, Persib melanjutkan keperkasaannya. Dua wakil Wilayah Timur, Persebaya Surabaya dihajar 4-0 dan Persipura Jayapura 3-1. Namun kekalahan 1-2 dari PSM Makassar pada laga berikutnya membuat langkah Persib tersendat.
Persib masih memelihara peluang ketika kemudian menundukkan Perseman 4-1. Kemenangan Persib atas Perseman ini sempat dituding berbau tidak sportif dan dikritik berbagai kalangan, termasuk Ronny Pattinasarani dan Iswadi Idris. Pasalnya, sebelum pertandingan berlangsung, Ketua Umum Persib, Solihin Gautama Prawiranegara diketahui membuat “ikrar” dengan kubu Perseman yang ketika itu menjadi public enemy penonton Senayan, akibat permainan keras menjurus kasar para pemainnya. Ikrar dilakukan antara Solihin G.P. dengan Mayor M.E. Talahatu, asisten manajer Perseman.
Nah, ikrar Silihin G.P. dengan sang mayor itulah yang dituding tidak sportif. “Kalau Pak Solihin yang meminta diadakan ikrar itu, ‘kan berarti perintah,” ujar Acub Zainal, salah seorang wakil ketua PSSI seperti dikutip majalah Tempo edisi 2 Maret 1985. “Mereka jadi loyo dan tak berdaya. Kasihan,” timpal Ronny Pattinasarani.
Masih di tulisan yang sama, Iswadi Idris mengatakan, untuk menghindari permainan keras menjurus kasar seperti diperagakan pemain Perseman, dibutuhkan wasit yang tegas dan jeli. “Bukan dengan pembacaan ikrar,” timpal Iswadi.
Para pemain Perseman pun mengaku terpengaruh dengan adanya ikrar itu. “Kami bermain seperti banci,” kata Adolf Kabo. “Bagaimana kami bisa menolak, yang memintanya ‘kan orang berpangkat,” tambahnya.
Di kemudian hari, Solihin G.P. membantah kalau ikrar itu atas permintaannya. Ia justru mengatakan, ide ikrar tersebut muncul dari kubu Perseman karena takut pemainnya diteror penonton. Siapa yang benar? Entahlah.
Gagal penalti
Kembali ke lapangan, posisi Persib kembali berada di ujung tanduk ketika dikalahkan PSMS 1-0. Persib lolos dari lubang jarum, karena PSM yang membutuhkan kemenangan untuk menggeser Persib di peringkat kedua hanya bermain imbang 2-2 dengan Persebaya. Alhasil, Persib lolos ke grandfinal untuk menantang PSMS kembali, hanya dengan keunggulan selisih gol dari PSM.
Namun untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Keberuntungan ternyata masih memusuhi Persib. Seperti grandfinal 1983, pada pertandingan grandfinal yang dimainkan pada 23 Februari 1985, Persib pun gagal membawa pulang Piala Presiden, karena kalah 3-4 lewat drama adu penalti. Dalam waktu normal, plus perpanjangan waktu, kedua tim bermain imbang 2-2. Persib tertinggal lebih dulu oleh dua gol M. Sidik menit 14 dan 35, sebelum disamakan Iwan Sunarya menit ke-65 dan Adjat Sudradjat menit ke-75.
Pada pertandingan final ini Nandar menurunkan formasi Sobur (kiper); Suryamin, Dede Iskandar, Robby Darwis, Adeng Hudaya, Bambang Sukowiyono, Adjat Sudradjat, Kosasih A., Suhendar/Yana Rodiana, Iwan Sunarya, dan Wawan Karnawan/Dede Rosadi.
Mengutip Pikiran Rakyat edisi 24 Februari 1985, Novan Herfiyana dalam modulnya berjudul “Persib 86: Lahirnya Kembali Generasi Emas Persib” menggambarkan, kekalahan untuk kedua kalinya dari PSMS melalui drama adu penalti itu membuat kubu Persib terdiam. Solihin G.P., Manajer Tim M. Yayat Ruchiyat, pelatih Nandar Iskandar, dan ofisial lainnya seakan terpaku melihat kegembiraan anak-anak Medan.
Suryamin tampak terisak-isak dalam pelukan Yana Rodiana dan Wawan Karnawan. Beberapa pemain lainnya menunduk lesu dan duduk di bangku cadangan. Suasana hening itu dibangkitkan Solihin G.P. yang dengan suara tegar meminta para pemain untuk menerima kenyataan itu dengan ksatria.